Translate

Rabu, 04 September 2013

Hidup Ini Singkat

Allah berfirman, “Berapa tahunkah lamanya kamu tinggal di bumi?” Mereka menjawab: “Kami tinggal (di bumi) sehari atau setengah hari. Maka tanyakanlah kepada orang-orang yang menghitung.” Allah berfirman: “Kamu tidak tinggal (di bumi) melainkan sebentar saja, kalau kamu sesungguhnya mengetahui.” (Al-Mu’minuun [23] : 112-114)
 Ayat di atas merupakan dialog antara Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan orang-orang yang telah meninggalkan kehidupan dunia ini. Di situ digambarkan betapa singkatnya hidup di dunia, tidak lebih dari sehari atau setengah hari. Bahkan lebih singkat dari itu. Tidak peduli kita siap atau tidak, kehidupan ini akan berakhir dengan kematian. Ketika saatnya tiba, tidak seorang pun yang bisa menunda walaupun sesaat.

“Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan kematian seseorang apabila datang waktu kematiannya…” (Al-Munaafiqun [63]: 11)

Kita pasti mati. Tetapi itu bukan akhir dari segalanya. Bahkan inilah awal dari kehidupan yang sesungguhnya, kehidupan yang abadi. Di sana manusia tinggal menerima risiko dari apa yang dilakukannya selama hidup di dunia. Pada akhirnya hanya ada dua pilihan ekstrim, ditempatkan di surga dan merasakan hidup penuh kebahagiaan tanpa batas. Atau sebaliknya, ditempatkan di neraka dan menderita selamanya tanpa batas. Inilah risiko terberat bagi perjalanan hidup manusia. Tidak ada yang lebih berat dari itu.

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidak ada sesuatu yang dialami anak Adam dari apa yang diciptakan Allah lebih berat daripada kematian. Baginya kematian lebih ringan daripada apa yang akan dialaminya sesudahnya.” (Riwayat Ahmad).

Selama di dunia kita mungkin mengalami berbagai kegagalan, tetapi itu hanya sementara. Kalau kita gagal meraih keuntungan hari ini, besok kita masih bisa meraihnya. Kalau kita tidak lulus ujian sekolah, kita bisa memperbaikinya dengan mengikuti ujian perbaikan. Kalau kita tidak naik pangkat tahun ini, tahun depan atau tahun depannya lagi kita bisa mendapatkannya, asalkan ajal belum datang menjemput kita. Tetapi begitu datang kematian, tidak ada lagi kesempatan untuk memperbaiki catatan amal kita. Tidak mungkin kita kembali ke dunia walaupun kita sangat menginginkannya.

Sebagian manusia terlena oleh kehidupan dunia ini. Mereka menganggap bahwa hidup itu hanya di dunia ini saja dan kemudian mengisinya dengan sekadar bersenang-senang, makan minum, pesta-pesta, hiburan, musik, film, dan fashion. Menikmati hidup, kata mereka. Mereka tidak menyadari ada kehidupan sesudah mati. Mereka itulah yang akan merasakan penyesalan yang luar biasa ketika tiba saat kematian. “Alangkah baiknya kiranya aku dahulu mengerjakan amal saleh untuk hidupku ini.” (Al-Fajr [89]: 24).

Begitulah ucapan orang-orang yang tidak menyangka bahwa mereka akan memasuki kehidupan yang abadi, kehidupan yang sebenarnya. Segala kesenangan yang mereka nikmati di dunia tidak ada artinya dibandingkan penderitaan yang akan mereka tanggung. Mereka akan mendapati kehidupan dari waktu ke waktu dengan segala penderitaan yang tidak akan pernah berakhir.

Butuh Bekal

Hidup ini singkat. Kalau kita mendapatkan kesenangan di dunia, itu adalah kesenangan yang sangat singkat. Kalau kita menderita, itupun sebenarnya penderitaan yang teramat singkat. Sekali lagi, hanya sehari atau setengah hari saja, atau lebih singkat lagi. Sama sekali tidak sebanding dengan yang akan kita alami sesudah kematian.

Hidup adalah sebuah perjalanan. Sebagaimana layaknya orang yang menempuh sebuah perjalanan, kita membutuhkan bekal. Jika perjalanan kita seminggu, maka paling sedikit kita menyiapkan bekal untuk keperluan selama minggu. Tas yang kita bawa berisi pakaian ganti yang harus cukup untuk seminggu. Uang saku di dompet kita juga harus cukup untuk kebutuhan seminggu. Jika kita bepergian selama sebulan tentu bekal dan persiapan kita harus lebih besar lagi.

Perjalanan hidup sesudah mati adalah perjalanan abadi, dan tanpa batas waktu. Bagi orang yang menyadari betapa panjangnya perjalanan itu, tentu akan jauh lebih serius mempersiapkannya. Seluruh waktu dan kesempatan hidup di dunia ini, kita manfaatkan sepenuhnya untuk mengumpulkan bekal menuju kehidupan yang abadi itu. Ia akan pertaruhkan seluruh hidupnya dan apa pun yang dia miliki untuk mendapatkan kehidupan yang baik sesudah kematiannya.

Dalam kehidupan dunia ini mungkin kita pernah kehabisan bekal. Jika demikian, tentu kita akan mengalami berbagai kesulitan dan kesusahan selama perjalanan. Meskipun begitu, kita masih bisa mencari bekal itu sepanjang perjalanan. Tetapi dalam perjalanan hidup sesudah mati, di sana kita tidak mungkin lagi mengumpulkan bekal. Semua harus dicari di dunia ini. Semuanya harus siap sebelum datang kematian.
Apa yang harus dibawa dalam perjalanan itu? Tentu tidak semua yang kita miliki kita bawa. Kita harus pandai-pandai memilih yang bermanfaat. Segala sesuatu yang tidak berguna hanya akan memperberat perjalanan. Di antara yang kita bawa dalam perjalanan hidup, baik di dunia maupun di akhirat, ada yang tidak boleh tertinggal yaitu keimanan, ketakwaan, dan amal saleh kita. Itulah bekal terbaik kita. Allah berfirman:

“…Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa…” (Al-Baqarah [2]: 197)
Ada yang pasti kita tinggalkan ketika kita melanjutkan perjalanan menuju akhirat. Nabi bersabda: “Ada tiga perkara yang mengikuti mayit sesudah wafatnya, yaitu keluarganya, hartanya dan amalnya. Yang dua kembali dan yang satu tinggal bersamanya. Yang pulang kembali adalah keluarga dan hartanya, sedangkan yang tinggal bersamanya adalah amalnya,” (Riwayat Bukhari dan Muslim).

Hadits ini tentu saja tidak mengajarkan kita untuk membenci harta, sebab itu adalah bagian dari bekal untuk hidup di dunia. Juga tidak mengajak kita untuk mengabaikan keluarga dan sesama, sebab tidak mungkin kita hidup di dunia ini tanpa mereka. Secara fisik harta itu memang kita tinggalkan, tetapi nilai amal saleh dari harta itu akan abadi bersama kita. Hal itu hanya bisa terjadi apabila harta itu kita belanjakan di jalan yang diridhai Allah. Demikian juga dengan keluarga dan saudara-saudara kita, jasad mereka memang tidak menyertai kita lagi, tetapi kebaikan yang kita tanamkan dalam interaksi kita di dunia tetap akan menyertai kita. Saudara-saudara seiman itu akan senantiasa mengirimkan doanya untuk kita. Anak-anak yang saleh juga akan senantiasa memberi kebaikan kepada kita. Ilmu yang kita ajarkan kepada sesama juga akan menjadi investasi yang memberi kuntungan yang tidak pernah putus. Semuanya akan menjadi amal saleh.
Hidup ini adalah perjalanan yang singkat. Setiap detik mengantarkan kita semakin dekat dengan batas akhir. Semoga waktu yang teramat singkat ini bisa kita manfaatkan sebaik-baiknya.


 *Shohibul Anwar, Ketua Departemen Dakwah PP Hidayatullah, SUARA HIDAYATULLAH, JANUARI 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Categories