Kisah Keta’atan dan Kemungkaran Dalam Al-Qur’an
Sejarah Yang Selalu Berulang [?]
Dari
Al-Qur'an kita bisa menemukan ‘sinyal-sinyal' sejarah manusia mulai
dari manusia pertama, yaitu Adam dan Hawa. Sebagai suatu kitab petunjuk,
Al-Qur'an tidaklah memuat peristiwa tentang manusia dan kaum terdahulu
dari aspek pengungkapan data dan fakta, namun catatan peristiwa tersebut
selalu dilihat dari sisi ‘keta'atan dan kemungkaran' kepada Allah
sebagai Tuhan tempat manusia mengabdi/beribadah. Catatan keta'atan dan
kemungkaran tersebut diharapkan bisa menjadi pelajaran bagi umat yang
datang belakangan. Terdapat beberapa catatan sejarah yang memuat nama
tempat dan data-data tokohnya, namun hal tersebut kelihatan untuk
‘memandu' orang-orang yang datang belakangan untuk mendapatkan bukti
arkeologisnya. Misalnya dalam ayat : bukit Judi dalam kisah Nuh [QS
11:44], Fir'aun yang memiliki autad/pasak/bangunan [QS 89:10], bukit
Thur dalam kisah nabi Musa [QS 4:154], dll. Al-Qur'an menyampaikan :
Sesungguhnya
pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang
mempunyai akal. Al Qur'an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan
tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala
sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. [Q.S.
Yusuf 12:111]
|
Al-Qur'an
menyebut ‘qashash' untuk mewakili cerita/peristiwa yang terjadi pada
masa sebelumnya. Dalam pengertian bahasa, kata ‘qashash' yang merupakan
bentuk jamak dari kata ‘qishash' berarti ‘mengikuti jejak' atau juga
bisa diartikan ‘berita yang bersifat kronologis'. Qishash yang digunakan
untuk menceritakan peristiwa yang benar-benar terjadi dimasa lalu
dinamakan ‘waaqi'iyah' misalnya qishash nabi Isa AS dan nabi Musa AS [QS
Ali-Imran 3:62]. [QS Al-'Araf 7:176], [QS Yusuf 12:3], [QS Al-Qashshash
28:25]. Dari penjelasan tersebut sejarah adalah ‘catatan peristiwa yang
terjadi pada masa lalu'. Ini sejalan dengan asal mula kata ‘sejarah',
yaitu ‘sajaratun' yang berasal dari bahasa Arab, artinya ‘pohon'. Bangsa
Arab adalah bangsa yang punya kebudayaan yang bangga dengan garis
keturunan, makanya pada umumnya seorang Arab akan bisa menjelaskan
silsilah nenek moyang mereka, apalagi kalau nenek moyang tersebut
tercatat sebagai orang-orang ternama atau terkemuka. Kita bisa menemukan
nama seorang Arab dengan silsilah yang lengkap seperti A bin B bin C
bin D, dst, dst. Silsilah tersebut diibaratkan sebagai ‘sajaratun' atau
‘pohon' yang mempunyai batang, dahan, ranting, kebawahpun digambarkan
mempunyai akar yang makin lama makin bercabang banyak. Sejarah
dimaksudkan merupakan cerita dan kisah terkait dengan orang-orang yang
ada dalam silsilah.
Dalam bahasa Inggeris sejarah disebut sebagai ‘history' :
merupakan
terjemahan dari kata dalam bahasa Yunani yakni Histories yang
memberikan arti atau bermakna suatu penyelidikan ataupun pengkajian.
Menurut "Bapak Sejarah" Herodotus, Sejarah ialah satu kajian untuk
menceritakan suatu perputaran jatuh bangunnya seseorang tokoh,
masyarakat dan peradaban.
|
||
Mengikut
definisi yang diberikan oleh Aristotle, bahwa Sejarah merupakan satu
sistem yang meneliti suatu kejadian sejak awal dan tersusun dalam bentuk
kronologi. Pada masa yang sama, menurut beliau juga Sejarah adalah
peristiwa-peristiwa masa lalu yang mempunyai catatan, rekod-rekod atau
bukti-bukti yang konkret.
|
||
Menurut
R. G. Collingwood, Sejarah ialah sebuah bentuk penyelidikan tentang
hal-hal yang telah dilakukan oleh manusia pada masa lampau. Shefer juga
berpendapat bahwa Sejarah adalah peristiwa yang telah lalu dan
benar-benar berterjadi. Sementara itu, Drs. Sidi Gazalba mencoba
menggambarkan sejarah sebagai masa lalu manusia dan seputarnya yang
disusun secara ilmiah dan lengkap meliputi urutan fakta masa tersebut
dengan tafsiran dan penjelasan yang memberi pengertian dan kefahaman
tentang apa yang berlaku. Sebagai usaha susulan dalam memahami sejarah.
|
Dari
penjelasan diatas, terlihat bahwa sejarah tidak mungkin berulang karena
sejarah itu sendiri tidak bisa dilepaskan dari kurun waktu tertentu
yaitu ‘masa lampau'. Namun disisi lain, Al-Qur'an banyak memuat kisah
tentang kemungkaran pada kaum terdahulu yang seolah-olah merupakan
‘pengulangan sejarah', lalu bagaimana cara kita menjelaskannya..???
Hal
ini sebenarnya bermula dari sudut pandang kita dalam menilai suatu
peristiwa dan keadaan. Umumnya kita terjebak membuat suatu dikotomi
terhadap peristiwa/keadaan kepada : sejahtera dan sengsara, makmur dan
melarat, berkuasa dan tertindas, aman damai dan penuh bencana, maju dan
terbelakang. Keadaan Yahudi yang ‘tertindas' pada jaman nabi Musa
disamakan dengan ‘tertindas' dijaman Isa Amasih, sebaliknya kemungkaran
Yahudi pada nabi Isa Almasih merupakan ‘pengulangan sejarah' dari
kemungkaran nenek moyang mereka kepada nabi Musa.
Peradaban
maju pada jaman Mesopotamia disimilarkan dengan peradaban maju pada
bangsa Eropah sekarang. Bencana yang ditimpakan bagi kaum Luth jaman
dahulu disejajarkan dengan Tsunami Aceh diabad ke-21. Pengulangan
sejarah tidak hanya digambarkan dengan ‘kondisi yang diterima' suatu
kaum/masyarakat, namun juga ‘aktifitas dari musuh-musuh Allah' yang
selalu muncul untuk menyesatkan umat manusia agar mereka kembali
terpuruk dalam keadaan yang negatif dan sengsara. Maka aktifitas
tersebut juga disebut sebagai ‘sejarah yang berulang'.
Ketika
hal tersebut dikaitkan dengan pemaparan kisah dalam Al-Qur'an maka
anggapan tersebut seolah-olah punya ‘landasan Qur'ani' dan muncullah
suatu kesimpulan, bahwa peristiwa/keadaan yang negatif terjadi karena
masyarakat telah menjauh dari ajaran Allah, sedangkan kondisi positif
yang ada menunjukkan masyarakat yang telah memanfaatkan ilmu Allah,
sekalipun mereka bukan pemeluk Islam. Orang Amerika, Eropah dan Jepang
dikatakan merupakan komunitas non-Muslim yang menerapkan ajaran Islam,
makanya mereka menjadi sejahtera dan makmur. Sedangkan Indonesia yang
mayoritas menganut Islam justru tidak menerapkan ajaran Islam dalam
kehidupan mereka sehingga dinyatakan terpuruk dan tenggelam dalam
kebodohan. Semua peristiwa dan keadaan tersebut digambarkan sebagai
suatu ‘pengulangan sejarah'.
Biasanya
pengulangan aktifitas musuh-musuh Allah tersebut disandarkan kepada [QS
Al-'Ankabut 29:52] dan ‘ayat paling populer untuk mengkafirkan orang
lain', yaitu [QS An-Nisa 4:51] tentang adanya orang yang menyembah ‘jibt
dan taghut'. Ketika pemahaman ini dipertemukan dengan pandangan
dikotomis terhadap peristiwa/kejadian tersebut, ini ibarat ‘botol ketemu
tutup', menghasilkan kesimpulan adanya suatu pengulangan sejarah karena
manusia tidak menjalankan ajaran yang disampaikan Allah melalui nabi
Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Al-Qur'an
sendiri mengajarkan, disamping semua kondisi dan peristiwa sebagai
akibat keta'atan dan kemungkaran manusia kepada Allah, seperti dalam [QS
An-Nahl 16:112] dan [QS Al-'Araf 7:96], namun pada ayat lain Allah
memerintahkan kita untuk mempunyai sudut pandang lain dalam melihat
suatu kondisi/peristiwa :
(yaitu)
orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam
keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan
bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini
dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa
neraka. [Q.S. Ali-Imran 3:191]
|
||
Dan
sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan,
kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita
gembira kepada orang-orang yang sabar. [Q.S. Al-Baqarah 2:155]
|
||
agar
mereka mengingkari nikmat yang telah Kami berikan kepada mereka dan
agar mereka (hidup) bersenang-senang (dalam kekafiran). Kelak mereka
akan mengetahui (akibat perbuatannya). [Q.S. Al-'Ankabut 29:66]
|
||
Dan
apakah mereka tidak memperhatikan, bahwa sesungguhnya Kami telah
menjadikan (negeri mereka) tanah suci yang aman, sedang manusia
sekitarnya rampok-merampok. Maka mengapa (sesudah nyata kebenaran)
mereka masih percaya kepada yang bathil dan ingkar kepada nikmat Allah?
[Q.S. Al-'Ankabut 29:67]
|
Dari
ketiga kelompok ayat diatas, kita diinformasikan bahwa sisi negatif dan
positif dari peristiwa dan keadaan BUKAN HANYA disebabkan karena kita
menjauh atau ta'at dari ajaran Allah, namun punya dimensi lain sebagai
ujian untuk memperkuat keimanan kita. Apapun yang ditimpakan Allah
kepada manusia bukanlah suatu hal yang sia-sia, tetapi selalu mempunyai
hikmah. Nikmat tidak selalu identik dengan keta'atan, sebaliknya
kemiskinan dan kesengsaraan juga tidak bisa diasosiasikan melulu karena
kemungkaran. Lebih hebat lagi, tiap orang tidak selalu memandang sama
suatu keadaan yang sejahtera ataupun sebaliknya. Kita bisa saja ‘tidak
bisa tidur' memikirkan orang lain yang melarat, ternyata si melarat
tersebut malah tidur enak digubuknya yang reyot. Dalam ayat lain Allah
menyatakan :
Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, [Q.S. Alam Nasyra 94:5]
|
||
sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. [Q.S. Alam Nasyra 94:6]
|
Terjemahan
ayat ini tidak tepat, karena kata ‘ma'a' seharusnya diterjemahkan
‘bersama' - sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Ayat ini
menyampaikan dalam semua peristiwa/kejadian terdapat dua unsur yang
berlawanan sekaligus : kesulitan dan kemudahan. Sepuluh tahun lalu
rakyat Indonesia menjerit karena ‘Krismon', pada saat yang sama banyak
orang-orang menjadi kaya mendadak karena berbisnis dollar.
Bencana
Tsunami di Aceh membunuh ratusan ribu manusia, dalam saat yang
bersamaan kedermawanan dan kesalehan juga meningkat. Orang bicara
tentang rakyat miskin, apa yang dimaksudkan dengan ‘kemiskinan'..??
menurut aturan Bank Dunia ukurannya adalah orang yang berpenghasilan USD
2 perkapita perhari. Banyak orang yang berpenghasilan dibawah USD 2
perhari menolak menerima sumbangan dan bantuan orang lain, dan lebih
memilih mencari nafkah sendiri, sebaliknya baru-baru ini kita membaca
anggota DPR-RI yang bergaji puluhan juta sebulan, menjerit-jerit minta
kenaikan gaji, karena menganggap gaji yang diterima tidak cukup.
Menurut
anda siapa sebenarnya orang yang miskin..?? Rasulullah tidur diatas
anyaman pelepah korma dirumahnya yang kecil, apakah anda akan mengatakan
Rasulullah termasuk orang miskin..?? Disisi lain kita menilai
masyarakat Barat dan Amerika adalah masyarakat yang maju, pintar dan
sejahtera, faktanya mereka banyak memenuhi tempat-tempat hiburan penuh
maksiat untuk ‘mengais-ngais' kebahagiaan yang mungkin masih tersisa.
Orang Jepang dikatakan maju dalam ilmu dan teknologi, tapi tetap
beribadah kepada gunung, matahari dan benda-benda alam lainnya. Karena
kekosongan ruhaniah, di dunia Barat banyak ditemukan sekte-sekte atau
‘cult' penyembah setan dengan tata-cara peribadatan yang sudah tidak
bisa dirujuk kepada ajaran agama manapun.
Orang-orang
Islam yang menjadikan ajaran Islam sebagai dasar suatu gerakan politik
gemar menjadikan ‘Negara Madinah' sebagi contoh ideal suatu pemerintahan
yang masyarakatnya sejahtera, aman dan makmur sentosa karena sudah
menjalankan ajaran Allah dengan sempurna.
Dari
sisi ‘das sein' tentu saja bisa dinilai demikian karena ada ‘Piagam
Madinah' yang memuat tentang aturan ketata-negaraan yang adil,
melindungi pemeluk agama minoritas, dll, sebagai suatu landasan
cita-cita. Namun ‘das sollen' sejak Rasulullah hijrah ke Madinah selalu
diisi dengan peperangan, selama sepuluh tahun sejak Hijrah (622-632M)
tercatat hampir setiap tahun terjadi peperangan besar, termasuk
didalamnya pengkhianatan kaum Yahudi Madinah sendiri.
Namun
disisi lain, masa 10 tahun Rasulullah di Madinah ditandai juga dengan
perkembangan ‘prototype' masyarakat Muslim yang dilandasi ukhuwah
keimanan, menjadi ‘masa emas' para syuhada, proses implemantasi ajaran
Islam dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Setelah Rasulullah wafatpun
keadaan ‘negatif' tidak terlepas dari rakyat, Khalifah Abu Bakar dalam
masa pemerintahannya yang singkat (2 tahun) sibuk memerangi orang-orang
yang murtad yang melakukan gerakan permusuhan, munculnya nabi-nabi
palsu, dll. Dalam waktu yang bersamaan pada masa kekhalifahan ini suku
Arabia diseluruh jazirah dipersatukan.
Di
Jaman Umar terjadi wabah penyakit dan kelaparan yang panjang, disisi
lain Islam menyebar-luas sampai ke Mesir dan Persia. Khalifah Usman
terbunuh serta terjadi perpecahan umat dijaman Ali bin Abi Thalib,
Ali-pun tidak terlepas dari pembunuhan, muncul kaum Khawarij yang
mengkafirkan siapapun kelompok Islam diluar mereka. Terdapat 2 hal
positif yang bisa dijadikan contoh dari ‘Negara Madinah', yaitu : (1)
Keagungan dan kebaikan akhlak dari para pemimpinnya, yaitu Rasulullah
dan para Khalifah Rasyidin (2) sudah terdapat landasan kenegaraan yang
Islami berupa ‘Piagam Madinah'. Selebihnya adalah cerita soal perjuangan
agar landasan tersebut bisa diwujudkan, dan dalam perjuangan terdapat
pengorbanan, kesulitan, kesengsaraan, kematian, dll.
Dalam
dunia Islam sendiri sudah terjadi banyak usaha untuk memunculkan apa
yang disebut sebagai ‘Negara Madinah', ada gerakan Wahabi di Arab Saudi
yang menghasilkan kekuasaan absolut dinasti Ibnu Saud, ada revolusi Iran
yang memunculkan Republik kaum Mulah, ada gerakan Taliban di
Afganistan, ada yang melalui konsep demokrasi seperti yang dicoba di
Pakistan, semuanya bercita-cita mendirikan model ‘Negara Madinah', namun
sama sekali tidak ada kesamaan sedikitpun dari bentuk-bentuk negara
tersebut, disamping keta'atan dan kemungkaran, kesejahteraan dan
bencana, kemahsyuran dan keterpurukan selalu menimpa silih berganti,
tidak ada bedanya dengan ‘Negara Madinah' dijaman Rasulullah dan
Khalifah Rasyidin.
Al-Qur'an
sendiri ketika menggambarkan tentang ‘pengulangan sejarah' kaum
terdahulu sebenarnya lebih terfokus kepada penyampaian teladan tentang
keta'atan dan kemungkaran individunya. Kedua hal ini sudah di desain
Allah memang terdapat dalam diri manusia :
maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. [Q.S. Asy-Syams 91:8]
|
Untuk
‘melengkapi' sifat-sifat yang sudah ada tersebut, Allah memenuhi
tuntutan Iblis untuk mengambil ‘posisi' keberadaannya sebagai makhluk
yang akan selalu mendorong sifat negatif manusia tersebut kearah
keingkaran kepada Allah [QS Al-'Araf 7:16-17], [QS Al-Hijr 15:36-39],
[QS Al-Isra' 17:63], [QS Shaad 38:82]
Kisah
Al-Qur'an tentang ‘pengulangan sejarah' lebih banyak mengungkapkan
kelakuan dan tabiat individu-individu yang ada dalam masyarakat. Ketika
Al-Qur'an menyampaikan tentang kisah kaum terdahulu yang selalu saja
‘bolak-balik' melakukan kemungkaran setelah datangnya para nabi dan
rasul (dan sebagian besar terjadi pada kelompok umat yang sama, yaitu :
Yahudi), kemungkaran digambarkan merupakan ‘kemungkaran kelompok' yang
berasal dari ‘kemungkaran pribadi', artinya hal tersebut tidak bisa
dilihat sebagai sifat suatu masyarakat, namun terarah kepada sifat
individu yang ada dalam masyarakat yang mempunyai kesamaan karakter
penyimpangan.
Kemungkaran
akan tetap terjadi sekalipun didalamnya hanya ada seorang manusia saja,
ini digambarkan Allah melalui kisah anak-anak Adam [QS 5:27-31]. Dalam
hal ini Allah menjelaskan bahwa Dia tidak akan menghukum suatu kaum yang
kebanyakan ingkar, sepanjang di dalamnya masih ada individu-individu
yang taat dan selalu mengusahakan perbaikan [QS 11:116-117] dan dalam
[QS 66:6] Allah menjelaskan proses keta'atan adalah melalui pihak
terdekat dengan diri sendiri, yaitu pihak keluarga, dan meluas kepada
lingkungan dan masyarakat.
Ketika
Allah berbicara tentang jalan ‘jibt dan taghut', maka hal tersebut
ditujukan kepada individu manusia, bahwa dalam diri kita ada potensi
untuk mengikuti ‘jibt dan taghut' dan kadang-kadang sebagai manusia kita
memang tidak berjalan dijalan yang telah ditetapkan Allah, artinya
otomatis berjalan menurut ‘jibt dan taghut'. Kesan yang dimunculkan dari
ayat ini adalah ‘Jibt dan taghut' ada dalam diri setiap manusia. Kadang
muncul mengatur kita, kadang keimanan kita kepada Allah bisa
mengalahkannya, terkadang tidak.
Ketika
kita lebih tunduk kepada orang lain dibandingkan tunduk kepada Allah,
ketika itu juga kita berjalan diatas jalan jibt dan taghut, ketika kita
lebih mementingkan harta dan pekerjaan sehingga ‘menyingkirkan' ingatan
kita terhadap Allah, pada waktu itu kita sedang berjalan diatas jalan
jibt dan taghut. Sesuatu yang mendominasi pikiran kita melebihi Allah,
itulah yang dinamakan jalan ‘jibt dan taghut'. Kita belajar Al-Qur'an
demi Al-Qur'an itu sendiri dan bukan karena Allah, maka kita tanpa
disadari telah berjalan diatas jalan jibt dan taghut.
Kalau
kita mengatakan adanya pengulangan sejarah dari cerita yang terdapat
dalam Al-Qur'an, itu sebenarnya merupakan tindakan yang ‘mempersempit'
makna kisah tersebut sebagai ‘hudan' - petunjuk (dalam pengertiannya
yang sangat luas dari aspek aturan bertingkah-laku, aturan
kemasyarakatan sampai dengan ‘sinyal-sinyal' ilmu pengetahuan),
menghasilkan makna yang hanya bernuansa ‘aturan kemasyarakatan' - sama
fungsinya dengan peraturan perundang-undangan. Kesamaan yang terjadi
bukanlah karena sejarahnya yang selalu berulang, namun ‘potensi
kemungkaran dan kebaikan' yang ada dalam diri manusia-lah yang selalu
muncul dan bisa menjadi karakter masyarakat, dan itu tidak akan habis
sampai kiamat. Selama di dunia ini masih ada manusia, keta'atan dan
kemungkaran akan tetap ada.
Setelah
disampaikan bahwa istilah ‘sejarah berulang' yang sama sekali tidak
punya landasan yang kuat tentang keberadaannya, baik dari sisi asal
istilahnya, pandangan para ahli sejarah sendiri, penjelasan Al-Qur'an,
maupun fakta-fakta tentang keadaan dan peristiwa, kita bisa mengajukan
pertanyaan : lalu darimana munculnya istilah tersebut...??
Ungkapan
‘sejarah berulang' sebenarnya adalah ungkapan yang kerap disampaikan
oleh dunia politik dan tokoh-tokoh politik. Dunia politik adalah dunia
yang terkait dengan kekuasaan, bagaimana cara merebut dan mempertahankan
kekuasaan. Maka suatu kelompok gerakan politik, apapun dasar
gerakannya, membutuhkan adanya identitas yang jelas, siapa ‘kita' dan
siapa ‘mereka', dan antara keduanya harus ada garis pemisah yang jelas,
ringkasnya, harus ada ‘musuh bersama' yang membedakan antara ‘kita'
dengan ‘mereka'.
Tentu
saja agar orang-orang yang ada dalam kelompok bisa merasakan diri
mereka sebagai orang ‘yang berada dijalan yang benar' maka stigma-stigma
negatif harus disematkan kepada kelompok diluar itu terlepas apakah
stigma tersebut benar atau salah, tergantung ajaran/isme mana yang
diusung. Penganut demokrasi seperti Amerika Serikat menciptakan stigma
totaliter, komunis, penindasan hak azazi manusia dan radikalisme
terhadap kelompok ‘lawan'. Jaman perang kemerdekaan, kelompok Nasionalis
menyematkan stigma : penjajah asing dan penindas kepada pasukan
Belanda. Bagi kelompok yang mengusung Islam sebagai dasarnya, stigma
negatif yang disematkan kepada kelompok diluar adalah : tidak sejalan
dengan Al-Qur'an dan sunnah Rasul, pengikut jibt dan taghut, kafir,
tersesat dari shiraat al mustaqiim, bahkan stigma ini juga ditujukan
kepada orang-orang Islam sendiri yang tidak ikut kelompok.
Garis
pemisah dan stigma-stigma ini berguna buat mengkonsolidasikan diri dan
anggota kelompok sehingga merasa terikat ke dalam persatuan yang kuat.
Perkataan ‘bangsa terjajah' dan ‘bangsa penjajah' membuat rakyat
Indonesia yang sebenarnya berbeda-beda merasa berada dalam ‘satu nasib'
dan mengelompokkan diri kedalam satu komando. Garis pemisah yang tegas
antara ‘pengikut Al-Qur'an dan sunnah Rasul yang benar' dengan ‘pengikut
jibt dan taghut' menciptakan munculnya kekompakan kelompok. Ini adalah
sesuatu yang dibutuhkan dalam suatu gerakan politik untuk merebut dan
mempertahankan kekuasaan. Maka jargon' sejarah berulang' dilontarkan
sebagai alat untuk selalu mengingatkan kelompok bahwa pihak ‘mereka'
tidak henti-hentinya menyerang ‘kita', ‘mereka' menunggu disetiap
kesempatan untuk menghancurkan ‘kita', hal tersebut selalu diulang-ulang
dan ditanamkan kepada anggota kelompok. Diambang akhir jabatannya Bung
Karno mengeluarkan pidato berjudul ‘Jasmerah' - jangan sekali-kali
melupakan sejarah, suatu bentuk lain dari konsep ‘sejarah berulang',
kelompok lain menyampaikan hal yang sama, lalu memberikan gambaran
sejarah yang dikotomis, yang baik silih berganti dengan yang buruk. Lalu
bagaimana caranya agar yang buruk kembali menjadi baik..??? tentu saja
dengan mengikuti kelompok dan berjuang bersama-sama kelompok untuk
merebut kekuasaan...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar